Mengalir Bagai Air

Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Selasa, 06 November 2007

Festival Langsat, Solusi PKL

By: Pradono

SAMPAI hari ini, kita muak dengan perilaku Pemerintah Kota Pontianak (Pemkot) yang tak pernah selesai-selesai dan terkesan tak tahu cara menata para pedagang kaki lima (PKL) 'sektor perbuahan', fokusnya di sepanjang jalur protokol Jalan A. Yani, secara bijak, manusiawi, dan solutif.

Segala kebijakan dan cara yang ditempuh, dengan alasan demi keindahan dan penataan kota, sekaligus mempertontonkan kebodohan diri sendiri karena justru akibatnya blunder yang didapat; wibawa pemerintah runtuh seketika, segala macam ancaman dan butir-butir sanksi hanya menjadi angin lalu yang justru menjadi pemicu retaknya harmonisasi antara pemerintah dan rakyatnya sendiri.

Hal ini sangat-sangat tidak sehat bila dikaitkan dengan upaya Pemkot mengukuhkan dirinya sebagai kota perdagangan yang bertaraf internasional dan memenuhi target jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Khatulistiwa ini, misalnya.

Kenapa para PKL terkesan bandel dan cenderung melawan serta berani main kucing-kucingan terhadap Pemkot dan kebijakannya, yang pasti di balik itu sesungguhnya diniatkan untuk membangun kota tercinta ini? Salah satunya, karena kebijakan Pemkot sendiri tidak akomodatif-solutif (istilah penulis) -untuk tidak mengatakan banci-sehingga di pihak lain para PKL menganggap kebijakan tersebut tidak berpihak kepada aspirasi dan kepentingan mereka.

Taruh saja ketika sebuah kebijakan tentang penataan PKL itu, sebutlah sebagai 'Perda Penataan PKL Perbuahan', digodok dan dilahirkan dengan hampiran alias pendekatan empatik, maka sekalipun tanpa melibatkan PKL sendiri secara langsung dalam memprosesnya, penulis berkeyakinan kebijakan tersebut akan memiliki roh dan kontak batin ketika sampai kepada para PKL sehingga tak ada alasan bagi mereka untuk merasa tersinggung, terabaikan peran-serta politisnya, apalagi harus merasa dilecehkan, karena pemerintahnya, abdi negaranya, pelayan masyarakatnya telah dianggap seperti mewakili diri mereka sendiri; yang bertungkus lumus dari mulai menanam, memelihara, sampai dengan tibanya musim panen buah dan menjualnya dengan harapan mendapatkan keuntungan demi kesejahteraan sekian banyak perut dalam keluarga masing-masing PKL. Di samping itu, tentu secara realitas masih ada saja sebagian individu PKL yang memang tak berniat dan beritikad baik untuk mendukung kebijakan pemerintahnya, padahal kebijakan itu, misalnya, betul-betul telah berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyatnya.

Jadi, taruh saja (lagi), penulis menawarkan solusi soal penataan para PKL sektor perbuahan ini, seperti rambutan, durian, jeruk, dan sebagainya dengan format sebuah festival, yang mungkin bisa dijadikan Calendar of Event Kantor/ Dinas Pariwisata Kota Pontianak, sebut saja Festival Langsat se-(Jalan A. Yani) Kota Pontianak (sekadar istilah), selama musim buah tersebut berlangsung, misalnya satu, dua atau bahkan tiga bulan. Maka jauh hari sebelum musim buah (langsat) tiba, Pemkot telah mempersiapkan 'segala sesuatunya' mengenai festival ini, termasuk di dalamnya rumusan kriteria dan perangkat-perangkat penilaiannya.

Konkretnya, butir-butir kriteria dan penilaian itu, antara lain konstruksi lapak/ stand buah harus sistem knockdown (jadi mudah dibongkar saat musim/ stok buah menyurut-selesai). Sedangkan aspek penilaiannya, misalnya meliputi aspek artistik dan arsitektur khas stand, lighting/ penerangan (saat malam hari), kualitas buah (menjaga imej dan kredibilitas pedagang sendiri), kebersihan lingkungan stand (termasuk mengingatkan konsumennya untuk tidak membuang sampah sembarangan), tertib lalu lintas (mengatur perhentian konsumen yang berkendaraan sehingga tidak mengganggu pengguna jalan lainnya), keramahtamahan pedagang (saat melayani konsumen), dan aspek-aspek lain yang memungkinkan untuk menciptakan kesan tertib, meriah dan maraknya sebuah festival.

Namun, sebelumnya (bisa jadi sebagai upaya membangun harmonisasi dan keakraban antara pemerintah dan PKL) dilaksanakan seremonial pembukaan yang dilakukan oleh Walikota beserta jajarannya ditambah para undangan Pemkot, termasuk wisatawan-wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Teknis untuk festival dan segala aspek ikutannya, jangan dilupakan pula untuk memberdayakan dan melibatkan unsur seniman Kota Pontianak sendiri.

Nah, kira-kira apa yang terbayangkan? Rasanya, semua tergantung dari kemauan semua pihak untuk mengarifinya masing-masing. Mau memulai atau tidak? Yang jelas, semua ini tetap dalam kerangka untuk mencari solusi demi menyelesaikan substansi masalah, problem, dan segala persoalan yang dihadapi. Tegasnya, mengatasi masalah per-PKL-an tanpa meruntuhkan wibawa Pemkot sendiri. Istilahnya, win-win solution.

Kalau sudah begini, semua pihak dapat bernapas lega. Selesai dari (musim) festival ini, tidak ada lagi satupun PKL yang diperbolehkan melakukan kegiatan di jalan-jalan protokol atau di lokasi yang dilarang. Kalau masih ada yang membandel, tindak saja dengan tegas tanpa takut terbebani melanggar HAM dan sebangsanya. Bagaimana? (Penulis adalah Pengamat Seni Budaya dan Kepariwisataan)
PontianakPost, Selasa, 3 Mei 2005


Label:

Temu Budaya atau Temu Lawak

By: Pradono

Kebetolan jak bah! kalok tadak maen-maen ke Taman Budaya, mane tau ada dialog dengan Pak Dirjen.
Tulisan ini merupakan catatan emosional dari "Dialog Temu Budaya bersama Dirjen Kebudayaan Depdiknas dengan Seniman, Budayawan dan Instansi Terkait", di Gedung Pusat Olah Seni Taman Budaya Kalbar di Pontianak, Senin malam (24/7) yang lalu.

Di awal paparannya, Dirjen Kebudayaan, Dr. I Gusti Ngurah Anom, menjelaskan bahwa dialog ini diharapkan mampu mendapatkan solusi terhadap keinginan untuk mengembangkan dan melestarikan seni budaya, khususnya di Kalimantan Barat. Itu subtansinya. Tapi apa lacur, dialog ini dibuat tak jelas oleh seorang Kakanwil, yang punya gawe alias sebagai tuan rumah, lewat pantun pembukaannya, yang di sana terungkap sekelumit kalimat bahwa "apa-apa yang salah jangan diberitahukan kepada yang lain.”

Apa maksudnya? Apa supaya Pak Dirjen tak boleh tahu dengan keadaan seni budaya di Kalbar atau Pontianak sesungguhnya yang "jalan di tempat" ini, yang notabene menjadi tanggung jawab dari Kakanwil Depdiknas (karena sekalipun sudah tak berlabel "kebudayaan" lagi, tapi masih suka menggarap proyek seni budaya)? Dari sinilah saya berpikir bahwa ada yang tidak beres di balik penyelenggaraan dialog ini.

Indikator yang merujuk ke arah itu, yang tidak sesuai dengan bunyi spanduk yang ditempel itu, antara lain tidak satupun sanggar/ kelompok seni/ seniman/ budayawan yang menerima undangan tertulis/ lisan dari Kanwil Depdiknas Kalbar (beberapa ketua sanggar saya tanyai). Sebelumnya tidak ada ekspos di media massa tentang kedatangan Dirjen/ dialog tersebut bahkan tak seorang pun wartawan yang "sengaja hadir" untuk memenuhi undangan, kecuali yang hanya kebetulan saat itu mampir dan sering ke Taman Budaya sambil bertanya "Ada acara apa ini?"

Semua itu saya pertanyakan langsung dalam forum tersabut. Kalimat pantun itu saya anggap sebagai yang "bukan zamannya lagi" untuk menutup-nutupi kesalahan. "Pak Dirjen datang ke sini apa sudah diagendakan ataukah sidak (inspeksi mendadak). Kalau sidak pun lebih bagus, lebih spontanitas.” Dan dialog ini sebenarnya untuk siapa karena yang hadir hanya orang-orang Kanwil.

Hal ini sangat kontras dengan keadaan ketika setiap sebuah pertunjukan digelar di Taman Budaya, orang-orang Kanwil pada ke mana? Termasuklah Pengurus Dewan Kesenian yang namanya bertumpuk di surat keputusannya itu. Praktis, seniman/ budayawan/ pengurus sanggar/ pengurus Dewan Kesenian yang hadir saat itu hanyalah mereka yang punya "hubungan khusus" dengan Kanwil. Berkat kedekatan hubungan pribadi. Kira-kira begitu. Sanggar dan pekerja seni lain yang hadir, hanya kebetulan hari itu sedang latihan atau yang menjadikan Taman Budaya sebagai "tamannya sendiri" sebagai wadah komunikasi, bertukar-pikiran.

Kami sebenarnya tak bermaksud menuntut ada atau tidak adanya undangan. Bukan itu soalnya. Sekalipun hanya informasi lisan apalagi ekspos di koran, rasanya sudah cukup. Intinya, asal tahu ada kegiatan, misalnya di Taman Budaya, Insya Allah kami pasti hadir. Ringkasnya, jangan main sembunyi-sembunyi alias betapok-tapok. Di spanduk tertulis ”...bersama Seniman dan Budayawan...", tapi seniman/ budayawan atau pekerja seninya sendiri tidak tahu. Itu kan sama saja dengan "main catut" alias "main atas nama" yang jadi tren sekarang ini. Nah, dengan cara begitu barangkali maksudnya supaya Pak Dirjen hanya menerima yang bagos-bagos jak! Namun, sudah terlambat. Nasi sudah jadi bubur dan kentang sudah jadi perkedel (istilah penulis). Tinggal makan saja. Enak tak enak.

Akhirnya, dengan "kekuatan" yang ada (walaupun satu dua orang), momen spesial ini mau tidak mau harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan Pak Dirjen agar seniman/ budayawan dan kesenian di Bumi Khatulistiwa ini tidak semakin parah dan terpupuk nasibya oleh tingkah polah para aktor yang seharusnya sebagai pembina, tapi justru menjadi "para pembinasa" itu.

(Penulis adalah Ketua Ikatan Pencipta Sastra Kota Hantu (IPSKH) Pontianak)
PontianakPost, Jumat, 11 Agustus 2000

Label:

Senin, 05 November 2007

Ujian Hati Nurani Pansus SOPD DPRD

By: Pradono

Tulisan ini merupakan refleksi dari proses perjalanan berkesenian di Kalimantan Barat yang dilakoni oleh para pekerja dan pencinta seninya, paling tidak sejak pertengahan tahun 2003 hingga hari ini.
Dari riak gerak kreativitas para pekerja seni tersebut, sedikitnya tercatat beberapa momentum penting yang kesemuanya memberikan kontribusi nyata bagi terangkatnya harkat dan martabat Kalimantan Barat di forum-forum regional, nasional, dan internasional.

Tak perlu dijelaskan lagi momentum yang dimaksud karena kesemuanya telah terekspose secara luas di berbagai media massa, tambahan tulisan ini secara khusus ditujukan kepada para penguasa di daerah ini sehingga diharapkan dengan hati terbuka dan tak berpikir picik sanggup menjadikan kontribusi nyata para seniman daerah ini sebagai pertimbangan dalam merumuskan dan mengambil kebijakan di bidang kesenian dan kebudayaan di Kalimantan Barat.

Dan refleksi ini dikhususkan lagi pada soal "terobosan" terkini eksekutif Pemprov Kalbar yang menyodorkan konsep melembagatekniskan beberapa dinas menjadi badan-badan, terutama dengan menggabungkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan Badan Informasi Daerah menjadi Badan Informasi Promosi Pariwisata dan Kebudayaan, yang digodok oleh Pansus SOPD DPRD Kalbar.

Perlu digarisbawahi bahwa dengan sadar para seniman alias pekerja seni di daerah ini sangat memahami hal-hal mana yang menjadi urusan internal pemerintah yang tak bisa dicampuri oleh pihak luar. Persoalan lembaga dan struktur, terutama institusi seni budaya bentukan pemerintah itu mau diapakan dan dikemanakan agaknya itu urusan pemerintah.

Namun, apa salah ketika para seniman, budayawan, dan masyarakatnya menyampaikan aspirasi dan memberikan masukan-masukan sehingga sebelum terlambat segala kebijakan pemerintah tidak berdampak pada terberangusnya eksistensi kesenian dan kebudayaan sebagai kekayaan dan aset daerah ini serta dibumihanguskannya pijakan dan wadah berkreasi dan berekspresi para seniman dan budayawan di negeri ini.

Sekadar saling mengingatkan, barangkali tak ada tabunya kita merenungkan sebuah pernyataan klasik bahwa "seni budaya merupakan salah satu pilar tegaknya suatu bangsa" yang agaknya masih tetap relevan dalam segala zaman dan keberlangsungan kehidupan manusia, di manapun ia berada dan berbangsa. Bagi bangsa Indonesia, khususnya Kalimantan Barat, yang masyarakatnya plural, heterogen, majemuk dan ber-Bhinneka Tunggal Ika realita ini menjadi suatu ikon keindahan bagaikan untaian manik mutu manikam dalam jalinan Zamrud Khatulistiwa demi mencapai suatu taraf kehidupan yang dinamis dan harmonis.

Oleh karena itu, segenap warga negara Indonesia serta masyarakat Kalimantan Barat mesti memberikan ruang dan atmosfir bagi tumbuh dan berkembangnya pelbagai potensi, eksistensi dan keberagaman khasanah seni budaya ini demi mencapai taraf kehidupan yang dinamis dan harmonis tersebut ketika kita masih merasa bangga menyebut diri sebagai manusia yang berbudaya dan beradab, bukan sekadar lips service.

Upaya ini tidaklah semata-mata menjadi tugas dan tanggung jawab seniman dan budayawan sebagai praktisi. Salah satu faktor yang menentukan terhadap upaya mewujudkan peningkatan apresiasi seni dan kebudayaan yang ingin kita kembangkan adalah peran para seniman dan budayawan, yakni sebagai ujung tombak dalam memelihara cipta, karya, dan karsa apresiasi sebuah nilai budaya. Namun, seniman sebagai benteng dan katalisator terhadap infiltrasi budaya luar yang bernilai negatif hendaknya senantiasa didorong ke arah yang kondusif untuk meningkatkan kreativitas dan inspirasi seni dalam rangka memelihara kebudayaan dan seni bangsanya.

Sedangkan sebagai otokritik, pihak seniman dan budayawan sendiri mesti senantiasa tetap komit dan berkesungguhan hati dalam memajukan seni budaya bangsanya, khususnya Kalimantan Barat. Dengan demikian, pada akhirnya semua pihak dapat saling bersinergi satu sama lain demi memperindah rangkaian manik mutu manikam dalam jalinan Zamrud Khatulistiwa.

Akhirulkalam, apa yang diputuskan oleh para petinggi dan penguasa daerah ini, terutama yang berkaitan dengan eksistensi seni budaya serta seniman dan budayawan daerah ini tidak semata-mata sekadar memuaskan nafsu dan keinginan pribadi dan sekelompok golongan sehingga sebagai abdi masyarakat serta pemegang amanah dan wakil rakyat, tetap menjadi manusia-manusia yang berbudaya dan beradab yang dilandasi hati nurani dan moral yang bersih.

Pada akhirnya, segenap warga dan rakyat negeri ini akan menyaksikan betapa para birokrat eksekutif yang pengen berkuasa kembali tetap harum namanya dan para wakil rakyat yang bakal duduk semakin tinggi integritasnya dan tak melupakan janji-janjinya serta bagi yang bakal lengser tidak mengkhianati hati nuraninya sendiri lantaran takut tak dapat pesangon terakhir dengan alasan kalah dalam voting.(Penulis adalah Pendiri/ Mantan Ketua Sanggar Kiprah FKIP Untan dan Ketua Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu (IPSKH) Pontianak)
PontianakPost, Rabu, 16 Juni 2004

Label:

Episode Duka di Tanah Rencong

by: Pradono

Aku tak punya kata kata
Aku kehilangan kata kata
buat lukiskan peristiwa dan bencana
nestapa yang menimpa saudara kita
Nangroe Aceh Darussalam,
Nias, Deli Serdang di Sumatera Utara

Harta yang berdiri megah
telah rebah tersapu air bah
Nyawa yang hanya selembar
telah melayang dan terhampar
Segala makhluk tersapu badai tercerai berai

Anak anak kehilangan ibu ayah
Ayah ibu kehilangan anak
Suami kehilangan istri, istri kehilangan suami
Saudara kehilangan saudara
Semua kehilangan harta dan nyawa
Hidup bersama kini sebatangkara
Bahkan kehidupan kini tiada

Aceh, Nias, Deli dan Sumatera Utara
Akupun turut berduka
berbelasungkawa atas derita yang kaurasa
Indonesia Menangis, Indonesia Berduka
menghimpun segala milik yang dipunya
berharap mengurang sedikit lara

Segala bencana, gempa bumi, tsunami
adalah rencana Yang Maha Perkasa
adalah tanda tanda kebesaran dan kekuasaan
Sang Khalik, Yang Maha Pemilik
Dialah yang mencipta,
Dia jualah yang akan mengambilnya

Allahu Akbar
Tiada yang lain Engkaulah Yang Maha Besar
Ya Allah,
Tiada banding dan tanding kebesaran dan kekuasaanMu
Cukuplah segala yang Kau sebar
menjadi hikmah dan iktibar
bagi yang mau berpikir dan belajar

Innalillahi wainna Ilaihi radji'uun

Pontianak, 30 Desember 2004
23.49 WIB

PontianakPost, Minggu, 9 Januari 2005

Label: