Mengalir Bagai Air

Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Senin, 10 September 2007

Wajah Depan Telaga

by Pradono

Marwan diam. Benaknya bermain-main di permukaan telaga. Telaga yang juga diam itu memiliki banyak kesamaan dengan keadaan Marwan. Permukaannya tenang. Hanya sesekali airnya beriak halus. Perlahan disapu lembut selintas angin sementara mulut bulatnya tampak teduh dilingkupi helai-helai daun pisang yang menjuntai membayangi di atasnya.Kebun pisang pun diam. Pelepah-pelepah lebar daunnya menyebabkan sedikitnya sinar matahari siang yang dapat menerobos. Suasana rindang di kawasan itu terasa sekali. Semilir angin yang mengepakkan helai dedaun menumbuhkan nuansa keteduhan. Telaga yang tenang semakin tampak sendu oleh keteduhannya. Tapi keteduhan itu amat berbeda dengan tarikan napas Marwan.Marwan masih diam. Entah sudah berapa lama ia di sana. Ia bersandar di sebuah pohon pisang. Dagunya tersangga pada kedua lutut yang ditekukkannya. Kedua tangannya begitu erat memeluk kedua betisnya. Sedari tadi, bola-bola matanya hanya menatap permukaan telaga yang berjarak satu meter dari kedudukannya. Tatapan itu tiada bernada. Lurus. Kosong. Hampa. Tanpa penafsiran.Benak Marwan terusik ketika satu gemericik halus telah menyebabkan air permukaan telaga beriak lembut. Pola gerakan yang membentuk lingkaran obat nyamuk itu tak sempat terhitung oleh matanya. Entah sudah berapa kali riak-riak air telaga melingkar. Entah benda apapula yang menjatuhinya. Gerak riak air telaga menggugah Marwan bereaksi. Kepalanya terangkat sedikit, lurus ke arah lingkaran yang kian melebar ke bibir telaga. Marwan tak lagi sediam tadi. Satu tarikan napas panjang dihembuskannya dengan panjang berdesah. Ia melepaskan pelukan pada kedua betisnya. Ia rebahkan ke tanah kedua telapak tangannya. Kedua kakinya dilunjurkannya. Telapak kaki bersandal jepit itu bergerak-gerak ke kanan ke kiri, perlahan, berulang-ulang. Seakan-akan melepaskan kepenatan yang merayap di sekujur persendiannya. Kini pandangannya telah beralih. Dalam posisi kepala menengadah, ia tatap pula lambaian ujung-ujung dedaun pisang yang disandarinya.Untuk kali pertama ada perubahan di wajahnya. Kelopak matanya menyipit. Perubahan itu teramat khas. Tak sama dengan ketika ia merespons gemericik permukaan air telaga, yang mengusik benaknya tadi. Tatapan itu mengandung ekspresi menyelidik. Entah kesan apa yang melekat di benaknya.*****Di benak Marwan, lambaian itu bukanlah sekadar daun pisang yang bergerak-gerak. Dedaun itu adalah wujud telapak tangan yang jari-jemarinya melambai-lambai ke arahnya. Lemah. Tak berdaya. Makin lama, lambaian itu semakin jelas dalam pandangan Marwan.Di hadapannya tak ada lagi dedaun pisang. Di sekitarnya tak wujud lagi pohon-pohon pisang. Tiada pula telaga. Tiada lagi keteduhan sinar matahari di kawasan kebun pisang. Ketenangan dan kelengangan di sekitarnya telah berubah warna. Berubah nada. Berubah suasana. Berbeda rupa. Semua itu telah berganti nuansa.“Marwan,“ senada suara lembut menyeru kepadanya.Namun, Marwan masih saja diam. Tatapannya masih saja mengarah kepada lambaian tangan tak berdaya di pelupuk matanya. Lambaian itu makin lama semakin mendekat ke arahnya. Melayang-layang di awang-awang. Tak wujud sosok pemilik lambaian itu. Namun, ekspresi di wajah Marwan penuh makna menanggapinya. Tatapannya seakan-akan tak sedikitpun mau beralih dari lambaian tersebut.“Marwan, bangkitlah!” nada suara seruan itu tak selembut semula. Sedikit meninggi seolah-olah ingin menyadarkan Marwan mengalihkan tatapannya.Marwan tetap diam. Gerak kakinya telah lama terhenti, tapi gelombang-gelombang di dadanya justeru makin bergelora. Mendesak-desak paru-paru. Memompa kuat denyut jantungnya. Namun, terkesan perasaannya ingin tetap bertahan dalam kediamannya itu.“Marwan, kemarilah!“Ternyata seruan itu ada hasilnya. Mata Marwan berkedip. Tak hanya sekali. Sejenak ia tercenung. Pandangan menyipitnya terhenti. Bukaan kelopak matanya melebar. Kedua bolanya bergerak. Melirik perlahan-lahan. Sesekali ke kanan. Sesekali ke kiri. Masih bernada menyelidik.“Beginikah caramu menghadapi persoalan. Beginikah engkau menyelesaikan masalah. Menyendiri dalam kesunyian. Mengadu kepada telaga ini. Apakah menurutmu dengan begini persoalan akan selesai?” suara itu terekam jelas ke gendang telinga Marwan.Marwan tersentak. Dengan jelas ia mendengar suara itu meski berat tersendat-sendat. Dengan mudah pula ia mengingat kalimat demi kalimat. Tiba-tiba ia berdiri. Langkahnya gontai. Perlahan-lahan surut ke belakang. Ia tampaknya berusaha menjauhi suara itu.“Marwan, kenapa kau berlama-lama di sini. Jarum-jarum waktu terus berlalu. Hari demi hari berganti. Terus memacu tanpa mau menunggu. Apakah kesunyian telaga ini menjadi teman berkongsi perasaan denganmu? Pulanglah!“Dalam diamnya ia tampak mencoba menguasai deburan gelombang di dadanya sebelum mengeluarkan kata-kata. Namun, akhirnya ia berhasil mengatasi gejolak dan deburan itu. Ia tarik napas panjangnya. Meski perlahan dan dengan nada berat sepatah demi sepatah kata meluncuri bibirnya selepas ia mendesahkan sesak udara di rongga dadanya.“Ya. Mungkin aku telah mengambil keputusan seperti ini untuk menyelesaikan persoalan. Di tempat yang sunyi. Tak ada orang lain yang tahu. Tiada sesiapa yang perlu tahu tentang apa yang aku rasakan sekarang ini. Telaga ini mungkin mau menampung luahan perasaanku. Sekarang, biarkanlah aku sendiri di sini. Aku tak ingin pulang.““Mungkin engkau benar. Di tempat ini memang tak ada orang lain. Kau tak ingin orang lain tahu dan merasakan apa yang kaurasakan. Tapi, apakah dengan begitu engkau menganggap persoalan yang sebenarnya akan turut pula selesai bersama kesendirianmu ini? Benarkah tak ada yang lain yang tahu?“ suara itu seakan-akan mengingatkan Marwan pada sesuatu hakikat.Marwan kini terpaku. Ia mencoba memahami kata demi kata itu. Ada sesuatu yang seketika itu menggugah batinnya yang mengiring kalimat demi kalimat itu. “Tak ada yang lain ...?“ batinnya berucap mengulang-ulang itu.“Marwan, pulanglah!“Suasana rindang kawasan kebun pisang itu agaknya telah berpindah tempat. Begitu pun semilir angin yang mengepakkan helai dedaunnya. Juga telaga yang tenang kini tak lagi sesendu semula. Keteduhannya kini mewujudkan keteduhan tarikan napas Marwan. (*)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda