Solusi atas Arsitektur Kotak Sabun
Bila Anda tiba di Kota Pontianak, terutama saat melintasi pusat-pusat perdagangan (baca: rumah toko, ruko) di sepanjang jalur Jalan Tanjungpura, Pattimura, Diponegoro, dan Gajahmada, kesan pertama apa yang Anda dapat?
Mungkin Anda setuju bahwa yang terekam justru bukan nilai artistik dan keindahan, melainkan cerminan kelemahan dan kegagalan konsep perencanaan tata kota yang berwujud kekumuhan, kesumpekan, dan kesemrawutan dari sebuah kota yang memvisikan dirinya sebagai kota perdagangan yang bertaraf internasional. Ringkasnya: Konsep Arsitektur Kotak Sabun.
Bila Anda tiba di Kota Pontianak, terutama saat melintasi pusat-pusat perdagangan (baca: rumah toko, ruko) di sepanjang jalur Jalan Tanjungpura, Pattimura, Diponegoro, dan Gajahmada, kesan pertama apa yang Anda dapat?
Mungkin Anda setuju bahwa yang terekam justru bukan nilai artistik dan keindahan, melainkan cerminan kelemahan dan kegagalan konsep perencanaan tata kota yang berwujud kekumuhan, kesumpekan, dan kesemrawutan dari sebuah kota yang memvisikan dirinya sebagai kota perdagangan yang bertaraf internasional. Ringkasnya: Konsep Arsitektur Kotak Sabun.
Konsekuensi konsep perencanaan sebuah kota bertaraf internasional mestinya dengan pendekatan artistik alias seni (rupa) dan arsitektural yang mampu dijadikan komoditas pariwisata. Namun, wujud yang kita saksikan adalah cerminan kemalasan dan rendahnya kualitas apresiasi seni para pengambil kebijakan kota ini. Akibatnya, dari waktu ke waktu solusi konkret untuk mengatasi problem kekumuhan, kesumpekan, dan kesemrawutan kota ini selalu tak kunjung-kunjung selesai, malah cenderung menimbulkan blunder karena substansi persoalannya tak pernah disentuh.
Ketika kita setuju pengambil kebijakan di bidang tata kota di Kota Pontianak ini harus memiliki apresiasi seni yang tinggi, maka konsep penataan fisik dari bangunan-bangunan ruko yang menjadi fokus tulisan ini harus sudah dimulai melalui pendekatan-pendekatan artistik dan arsitektural yang tidak saja memenuhi syarat komposisi seni rupa, tetapi dari kelayakan konstruksi sekaligus safety, keselamatannya.
Sebagai ilustrasi, saat bertandang ke Singapura penulis memperoleh informasi dari warganya bahwa blok-blok rumah pangsa/ flat/ gedung bertingkat yang berdiri megah di sana memiliki masa kedaluwarsa 99 tahun dan ketika masa itu tiba maka apapun alasannya harus diruntuhkan untuk dibangun kembali atau tidak diapa-apakan, tergantung kebijakan kerajaan di sana. Dahsyat memang. Itu baru dari satu sisi tentang canggihnya konsep dan daya tahan konstruksinya. Soal bagaimana lanskap, masterplan atawa penataan artistik kota di sana, tak perlulah penulis memanjanguraikannya. Lantaran bukan itu maksud tulisan ini. Lagipula, itu hanya ilustrasi.
Lalu, bagaimana dengan Pemerintah Kota Pontianak sendiri yang mungkin hanya sanggup membangun gedung rata-rata paling tinggi bertingkat tiga, dengan material seadanya, tapi konon kabarnya berdaya tahan ratusan tahun. Ironisnya, bangunan tua yang keropos itu ketika dilempar senyala batang korek api saja langsung terbakar? Bahkan sampai hari ini Pemkot belum juga punya solusi menyembunyikan kabel-kabel listrik yang melintangpukangi wajah kota ini. Termasuk tak pernah ketemu solusi sinergis-efektif untuk mendekati dan mengayomi para PKL yang dianggap memperkumuh wajah kota ini.
Maka, dari penulis hanya sebaris kalimat solusi penataan kota ini, yaitu berdayakan seniman plus arsitek andal kota ini untuk menata kota tercintanya demi mencapai gengsi sebagai kota perdagangan yang bertaraf internasional menjadi kota dan pemerintah yang berwibawa.
Dengan begitu, tidak membuat bangsa lain tertawa menyaksikan kecerobohan aparat kota ini yang menyebut kotanya sebagai Kota Air, tapi selalu terendam air. Sebagai Kota Seribu Parit, tapi tak punya parit lagi. Sebagai Kota Bersinar, tapi justru sampahnya yang bersinar-berserakan di mana-mana. Sebagai Kota Khatulistiwa, tapi Tugu Khatulistiwa-nya tak pernah terurus. Yang punya pintu air, tapi di musim pasang naik air merembes ke mana-mana. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, pengambil kebijakan kota ini mesti berani bertindak tegas, tapi manusiawi. Berlaku birokratis, tapi kompromistis.
Konkretnya, beri ultimatum deadline kepada setiap pemilik bangunan. Misalnya selama satu bulan biarkan mereka “berlomba“ mempercantik ruko masing-masing.
Teknisnya, Pemerintah Kota menyodorkan gambar-gambar contoh yang memuat berbagai komposisi warna per blok/ lajur ruko, yang akan tetap matching dan serasi apapun komposisi yang mereka pilih karena sudah dibahas matang bersama seniman (rupa) dan arsitek kota ini. Segala sumber biaya, material, dan tenaga yang diperlukan untuk itu terserah masing-masing si pemilik ruko.
Namun, sebaliknya ketika mereka melanggar deadline satu bulan itu, maka Pemkot bersama seniman dan arsiteknya yang mengambil alih proyek ini. Si pemilik yang membandel diberi sanksi dengan membayar denda sekian rupiah plus upah kerja kepada tim pelaksana Pemerintah Kota. Sampai di sini, penulis anggap konsep ini sudah cukup jelas bagaimana mengaplikasikannya.
Di sisi lain, terutama dari hal konstruksi dan safety bangunan yang sudah dimakan umur, Pemkot harus sangat berani mengambil keputusan untuk membongkar bangunan tersebut (dengan paksa sekalipun) karena pertimbangan kemashlahatan umum, misalnya untuk memperkecil risiko kebakaran dan jenis-jenis pemicunya, seperti arus pendek atau korsleting listrik dan sumber-sumber api lainnya. Hal ini sekaligus untuk menghapus pembenaran adanya istilah post majeure di balik spekulasi dan permainan asuransi yang cenderung tercium berbau kolusif.
Tanpa merekrut pegawai tata kota yang seniman dan arsitek, tapi minimal ber-SDM dengan apresiasi seni dan arsitektural yang tinggi, maka Pemkot dengan kemauan dan visi jangka panjangnya satu per satu dapat mengatasi berbagai problemnya demi mencapai gengsi sebagai kota perdagangan yang bertaraf internasional, dan laku dijual. Semoga. (*)
Penulis adalah Aktivis Seni Budaya Kalbar.
Dimuat di PontianakPost,Sabtu, 7 Juni 2008
Label: opini