Mengalir Bagai Air

Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Minggu, 23 September 2007

Dialog Budaya yang Terlupakan

by: Pradono

Gairah berkesenian dan bersastra di Kalimantan Barat sebenarnya tak pernah lesu dan sepi. Aktivitas-aktivitas, seperti menulis dan baca puisi, cerpen, pementasan drama, senirupa, musik, tari dan sebagainya, masih saja berlangsung hingga hari ini. Berbicara tentang hal ihwal kelesuan dan kesepian berkesenian di daerah ini, memang sempat membuahkan polemik. Pro dan kontra. Ada yang menanggapi bahwa konon, di daerah ini banyak senimannya, tapi wujudnya entah bagaimana. Namun, sebaliknya seniman-seniman aktif berbuat, tapi masih juga tak ketahuan bagaimana pula wujud dan bentuknya.

Mengarifi kondisi yang demikian, tentu secara kasat mata ada faktor-faktor yang menyebabkannya. Sadar atau tidak sadar, kita mesti berpikir bijak untuk tidak terlalu pagi menyimpulkan bahwa seniman/sastrawan daerah ini telah mengalami kelesuan, kemandulan dan krisis atau apalah istilahnya.

Faktor esensial bisa jadi terletak pada komunikasi alias dialog antarpihak yang berkaitan dengan perjalanan berkesenian itu sendiri. Aktivitas berkesenian yang berlangsung seolah-olah hanya berjalan di tempat. Seniman berkarya, tapi tidak mengomunikasikan (baca : mempublikasikan) karyanya. Mempublikasikan karya tapi tidak ter-cover dan meluas ke masyarakatnya. Tercover dan meluas, tapi tidak mendapat tanggapan tanggapan, dan seterusnya dan seterusnya.

Dan jika kita paksakan juga menariknya, maka akan terjadi sebuah lingkaran setan. Dan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Komunikasi dalam hal ini bisa kita simpulkan pada dua hal, dua perhatian, Komunikasi antarseniman dan komunikasi antara seniman dengan masyarakatnya.

Pertama, komunikasi antarseniman, agaknya, mutlak diperlukan, dikembangkan dan dibudayakan. Komunikasi antarpribadi dan kelompok merupakan modal dan kekautan untuk turut andil menumbuhkembangkan dan membina kesenian di Kalimantan Barat ini. Sebab akan terasa janggal bahkan naif, jika bicara tentang perkembangan dan pembinaan, sementara tidak terjalin komunikasi antarpihak itu. Masing-masing pribadi dan atau kelompok berjalan sendiri-sendiri, meksipun pada sisi lain kita mesti memiliki identitas dan jati diri.

Secara teknis, mungkin komunikasi itu dapat diwujudkan dengan saling menukar informasi atau berdialog tentang keberadaan dan aktivitas masing-masing, baik terutama melalui media massa maupun kontak langsung tatap muka. Memang mesti diakui bahwa telah terjadi komunikasi, tapi kenyataannya hanya terbatas pada kepentingan dan kelompok tertentu, secara parsial dan sporadis, tidak secara menyeluruh. Berkumpul bersama dalam waktu yang bersamaan pula.

Soal ini sekaligus merupakan introspeksi diri atas segala yang telah dan masih berlangsung hingga saat ini. Budaya dialog dan khususnya tradisi ‘bersastra’ (baca; menulis) ternyata turut pula melemahkan eksistensi dan komunikasi dunia seni kita. Kemauan untuk mengkritisi dunia sendiri sengat paradoksal dengan predikat yang disandang, sastra/sastrawan (tulisan atau penulis). Lewat tulisan, tentu saja akan menciptakan sebuah wacana dialog, komunikasi, kritik atau apapun namanya.

Tanpa hendak bermaksud mengambinghitamkan, baik policy redaksional media massa dengan menyediakan lahan/rubrik secara konsisten dan kontinu maupun birokrasi alias pejabat sebagai wujud kepedulian terhadap eksistensi dan perkembangan kesenian di daerah ini. Ternyata rendahnya budaya menulis ini tetap sama sebangun dengan rendahnya minat baca masyarakat dan diri kita sendiri di negeri ini, yang berobsesi membangun komunitas madani di abad Milenium III.

Kedua, soal komunikasi antara seniman dengan masyarakatnya terletak pada eksistensi sistem yang melingkupi seni itu sendiri. Seperti disinggung di atas, secara mendasar masyarakat kita belum lagi menempatkan eksistensi seni pada porsi yang sebenarnya. Dengan bahasa lugas, masyarakat kita belum berani berspekulasi untuk menjadikan seni seabgai kebutuhan yang sejajar dengan ‘pentingnya nasi sebagai penuntas rasa lapar perutnya’.

Masyarakat lebih mengejar target pemenuhan kebutuhan fisik material. Secara legal formal, pemerintah dalam rumusan GBHN, dari Pelita ke Pelita, dari tahap ke tahap pembangunan, sempat dengan cukup manusia bertutur panjang lebar tentang pentingnya ‘sastra dan seni budaya untuk membantuk watak dan budi pekerti luhur’ demi membangun bangsa dan negara dengan sumber daya manusia yang berkepribadian ‘Indonesia’. Namun, tak memberikan hasil efektif secara empiris sebab hingga terakhir ini ‘budaya’ yang dirumuskan itu justru menciptakan kanibalisme, brutalisme dan sebangsanya yang meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dan tradisi bangsa orang Timur ini.

Jadi, sistem yang dibangun pada praktiknya dibelenggu dengan pendekatan ‘arogansi otoriter’ dan ‘penyeragaman di berbagai aspek kehidupan ‘sehingga tak semanis rumsuan di dalam perundang-undangannya. Komunikasi dan dialog yang berbentuk adalah komunikasi satu arah, dialog kulo nuwon, budaya nrimo, yang pada akhirnya mencoreng eksistensi ‘bangsa yang berwatak dan berbudi pekerti luhur’, sehingga sastra dan tradisi menjadi terjauhkan dari masyarakat sendiri.

Semoga saja rumusan ‘Sosial Budaya’ dalam GBHN di era reformasi dengan para wakil rakyat reformis bahkan duduknya para seniman dan budayawan di kursi rakyat yang empuk itu, tidak terjebak untuk sekadar bermanis-manis kata tanpa mengarifi kenyataan empiris yang nyaris membentuk komunitas yang tak berbudaya karena terlupakannya ‘dialog budaya ‘di negeri ini. Dan pada akhirnya, sebagai otokritik bagi seniman sendiri, semoga pula tak berasyik-masyuk beronani sendiri menuntaskan egoisme dan individualistis yang salah tempat sehingga justru dirinya sendirilah yang menghancurkan dan meminggirkan eksistensinya di tengah masyarakatnya sendiri. (Disampaikan dalam lesehan Klepon (Komunitas Lesehan Pontianak), 16 Agustus 2000 Gedung Pameran Taman Budaya Kalimantan Barat).

PontianakPost, Sabtu, 9 September 2000

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda