Mengalir Bagai Air

Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Minggu, 23 September 2007

Dialog Budaya yang Terlupakan

by: Pradono

Gairah berkesenian dan bersastra di Kalimantan Barat sebenarnya tak pernah lesu dan sepi. Aktivitas-aktivitas, seperti menulis dan baca puisi, cerpen, pementasan drama, senirupa, musik, tari dan sebagainya, masih saja berlangsung hingga hari ini. Berbicara tentang hal ihwal kelesuan dan kesepian berkesenian di daerah ini, memang sempat membuahkan polemik. Pro dan kontra. Ada yang menanggapi bahwa konon, di daerah ini banyak senimannya, tapi wujudnya entah bagaimana. Namun, sebaliknya seniman-seniman aktif berbuat, tapi masih juga tak ketahuan bagaimana pula wujud dan bentuknya.

Mengarifi kondisi yang demikian, tentu secara kasat mata ada faktor-faktor yang menyebabkannya. Sadar atau tidak sadar, kita mesti berpikir bijak untuk tidak terlalu pagi menyimpulkan bahwa seniman/sastrawan daerah ini telah mengalami kelesuan, kemandulan dan krisis atau apalah istilahnya.

Faktor esensial bisa jadi terletak pada komunikasi alias dialog antarpihak yang berkaitan dengan perjalanan berkesenian itu sendiri. Aktivitas berkesenian yang berlangsung seolah-olah hanya berjalan di tempat. Seniman berkarya, tapi tidak mengomunikasikan (baca : mempublikasikan) karyanya. Mempublikasikan karya tapi tidak ter-cover dan meluas ke masyarakatnya. Tercover dan meluas, tapi tidak mendapat tanggapan tanggapan, dan seterusnya dan seterusnya.

Dan jika kita paksakan juga menariknya, maka akan terjadi sebuah lingkaran setan. Dan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Komunikasi dalam hal ini bisa kita simpulkan pada dua hal, dua perhatian, Komunikasi antarseniman dan komunikasi antara seniman dengan masyarakatnya.

Pertama, komunikasi antarseniman, agaknya, mutlak diperlukan, dikembangkan dan dibudayakan. Komunikasi antarpribadi dan kelompok merupakan modal dan kekautan untuk turut andil menumbuhkembangkan dan membina kesenian di Kalimantan Barat ini. Sebab akan terasa janggal bahkan naif, jika bicara tentang perkembangan dan pembinaan, sementara tidak terjalin komunikasi antarpihak itu. Masing-masing pribadi dan atau kelompok berjalan sendiri-sendiri, meksipun pada sisi lain kita mesti memiliki identitas dan jati diri.

Secara teknis, mungkin komunikasi itu dapat diwujudkan dengan saling menukar informasi atau berdialog tentang keberadaan dan aktivitas masing-masing, baik terutama melalui media massa maupun kontak langsung tatap muka. Memang mesti diakui bahwa telah terjadi komunikasi, tapi kenyataannya hanya terbatas pada kepentingan dan kelompok tertentu, secara parsial dan sporadis, tidak secara menyeluruh. Berkumpul bersama dalam waktu yang bersamaan pula.

Soal ini sekaligus merupakan introspeksi diri atas segala yang telah dan masih berlangsung hingga saat ini. Budaya dialog dan khususnya tradisi ‘bersastra’ (baca; menulis) ternyata turut pula melemahkan eksistensi dan komunikasi dunia seni kita. Kemauan untuk mengkritisi dunia sendiri sengat paradoksal dengan predikat yang disandang, sastra/sastrawan (tulisan atau penulis). Lewat tulisan, tentu saja akan menciptakan sebuah wacana dialog, komunikasi, kritik atau apapun namanya.

Tanpa hendak bermaksud mengambinghitamkan, baik policy redaksional media massa dengan menyediakan lahan/rubrik secara konsisten dan kontinu maupun birokrasi alias pejabat sebagai wujud kepedulian terhadap eksistensi dan perkembangan kesenian di daerah ini. Ternyata rendahnya budaya menulis ini tetap sama sebangun dengan rendahnya minat baca masyarakat dan diri kita sendiri di negeri ini, yang berobsesi membangun komunitas madani di abad Milenium III.

Kedua, soal komunikasi antara seniman dengan masyarakatnya terletak pada eksistensi sistem yang melingkupi seni itu sendiri. Seperti disinggung di atas, secara mendasar masyarakat kita belum lagi menempatkan eksistensi seni pada porsi yang sebenarnya. Dengan bahasa lugas, masyarakat kita belum berani berspekulasi untuk menjadikan seni seabgai kebutuhan yang sejajar dengan ‘pentingnya nasi sebagai penuntas rasa lapar perutnya’.

Masyarakat lebih mengejar target pemenuhan kebutuhan fisik material. Secara legal formal, pemerintah dalam rumusan GBHN, dari Pelita ke Pelita, dari tahap ke tahap pembangunan, sempat dengan cukup manusia bertutur panjang lebar tentang pentingnya ‘sastra dan seni budaya untuk membantuk watak dan budi pekerti luhur’ demi membangun bangsa dan negara dengan sumber daya manusia yang berkepribadian ‘Indonesia’. Namun, tak memberikan hasil efektif secara empiris sebab hingga terakhir ini ‘budaya’ yang dirumuskan itu justru menciptakan kanibalisme, brutalisme dan sebangsanya yang meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dan tradisi bangsa orang Timur ini.

Jadi, sistem yang dibangun pada praktiknya dibelenggu dengan pendekatan ‘arogansi otoriter’ dan ‘penyeragaman di berbagai aspek kehidupan ‘sehingga tak semanis rumsuan di dalam perundang-undangannya. Komunikasi dan dialog yang berbentuk adalah komunikasi satu arah, dialog kulo nuwon, budaya nrimo, yang pada akhirnya mencoreng eksistensi ‘bangsa yang berwatak dan berbudi pekerti luhur’, sehingga sastra dan tradisi menjadi terjauhkan dari masyarakat sendiri.

Semoga saja rumusan ‘Sosial Budaya’ dalam GBHN di era reformasi dengan para wakil rakyat reformis bahkan duduknya para seniman dan budayawan di kursi rakyat yang empuk itu, tidak terjebak untuk sekadar bermanis-manis kata tanpa mengarifi kenyataan empiris yang nyaris membentuk komunitas yang tak berbudaya karena terlupakannya ‘dialog budaya ‘di negeri ini. Dan pada akhirnya, sebagai otokritik bagi seniman sendiri, semoga pula tak berasyik-masyuk beronani sendiri menuntaskan egoisme dan individualistis yang salah tempat sehingga justru dirinya sendirilah yang menghancurkan dan meminggirkan eksistensinya di tengah masyarakatnya sendiri. (Disampaikan dalam lesehan Klepon (Komunitas Lesehan Pontianak), 16 Agustus 2000 Gedung Pameran Taman Budaya Kalimantan Barat).

PontianakPost, Sabtu, 9 September 2000

Label:

Kamis, 20 September 2007

ITU SAJA

Kemarin kau ucapkan kata yang sama
begitu indah rangkaian bunyinya
aku terpana
hingga lupa penderitaan
yang mengental di jiwa


Kata indah yang terucap
meruntuhkan pilar yang tertancap
mengguncang bumi tempat berpijak
menghambur satwa-satwa tanpa arah
hanya kau
dan aku

Kemarin terpana penderitaan
dibius harum bunga penuh kumbang

Hari ini matahari tak lagi
bersahabat denganmu tak lagi
dekati harum bunga
membius

Kata-kata kehilangan keindahan
kata-kata bermain sendirian
tanpa teman
tanpa nada
tanpa makna

Penderitaan telah bosan
dengan keindahan kata-kata
Penderitaan menanti matahari
menyubur benih menuai buah

Itu saja.

pontianak, 26/10/92

Label:

PENJARA

Dalam jeruji membuncah tanya dalam hati
lupakan sarapan pagi seonggok kangkung
sepiring nasi
basi


Dalam jeruji terkurung
hati nurani
mati

Kebebasan di balik jeruji
adalah pilihan sebelum mati
pandangi mata tanpa nurani
dengarkan petuah tanpa gigi
ikuti langkah tanpa kaki
alunkan desah tanpa onani
makanlah dendeng monyet kraton besi
tanpa tanya sipir banci

Rimba subur di balik jeruji
tertancap berjuta duri
tertimbun rimbun indah anggrek hutan
menyejuk mata menyiksa hati
menghalang langkah menusuk kaki
menyembur darah tanpa arti

Kebebasan di balik jeruji
adalah pilihan sebelum mati
nikmatilah dendeng monyet kraton besi
inilah dongeng negeri sialan
bercerita penuh bualan
menjanjikan sejuta tipuan
menabur benih racun kematian
tanpa tanya sipir karatan

Dalam jeruji hati selalu bertanya: kapan?

Pontianak, Oktober '92

Label:

Selasa, 18 September 2007

SEBELUM LUPA

Sebelum lupa
hingga hari hanya hampa
terimalah kata kata:
nista
hina
dosa
duka
dia
Sebelum lupa
ucapkan selamat tinggal
gali kenangan kubangan dosa tanpa kata kata!
Butakan mata
Tulikan telinga
Lumpuhkan raga
Hilangkan rasa
Matikan jiwa
sebelum lupa
apa
di mana
siapa
ke mana
tanpa kata kata
tanpa jiwa
tanpa dia;
siapa
di mana
singkirkan tanya
sebelum lupa
lupa
lupa
lupa
siapa luka
siapa luka
siapa duka
siapa dosa
tanya
sebelum lupa.

Pontianak, 10/92

Label:

DI BAWAH TERANG SINAR BULAN

Jangkrik bersenandung malam
sinar bulan terang
membiaskan kegundahan
hati seorang anak Adam
matanya enggan terpejam
sementara jari jarinya
menari mencurahkan isi hati
luapkan gumpalan gumpalan
sanubari merangkai kata
dalam bait bait puisi


Anak Adam gundah
dalam senandung malam
jangkrik jangkrik
di bawah sinar terang bulan
ia tatap selimut bumi
renungkan segala kebesaranNya
mencatat segala dosanya

Lewat bait bait kata
ia teteskan air matanya
ia mencaci maki napsunya
ia kikis habis keangkuhannya
ia laknati kesombongannya

Lewat bait bait puisi
ia tuntaskan kemarahannya
ia lepaskan kemurkaannya
pada dirinya sendiri
yang tak pernah tahu diri
akan kemurahan Khaliknya
yang menabur rezeki
memberi kenikmatan

Di bawah terang sinar bulan
kegelapan hatinya berdoa akan kesucian
pada Sang Pemilik ia rangkaikan pujian
yang memberinya keindahan


pontianak, 21 agustus 1992

Label:

Minggu, 16 September 2007

SEANDAINYA PENYAIR JADI BIROKRAT

by: Pradono

Seandainya penyair jadi birokrat
apakah sajak masih sempat dibuat
apakah sajak tak pindah kiblat
apakah suara masih bulat
apakah mata masih melihat


Seandainya penyair jadi birokrat
ganti predikat jadi pejabat-
dengkul berganti kreta berkilat
biar ke kantor tidak terlambat

Seandainya penyair jadi birokrat
tidakkah takut terkena pecat
turun pangkat rendah derajat
(cari kerjaan amat sangat berat-
formasi begitu ketat:
harus pandai ilmu silat
tak perlu tamat
bisa saja jurus gerak cepat
patgulipat bantingtulang peraskeringat
hop! jadi duit sekebat
sakasakusuk! Jabatan pun dapat)

Seandainya penyair jadi birokrat
apakah jadi orang hebat
apakah bermimpi jadi terhormat
merelakan diri jadi penjilat
harapkan piagam sebagai: Pengkhianat!


Seandainya penyair jadi birokrat
apakah kawan masih diingat
apakah kawan sendiri diembat
bukakan pintu pasangi jerat
Kalau begitu namanya keparat!
Kalau begitu namanya bangsat!

Banyak penyair jadi birokrat
Banyak penyair jadi pejabat
Banyak penyair jadi konglomerat
Berbaju safari sepatu mengkilat
Berkepala ringan berlangkah berat

Banyak penyair tetap melarat
Banyak penyair hidup sekarat
Melangkah berat tersendat-sendat
Dapat rezeki cuma sekerat:
Tapi menyajak tetap berminat
Harapkan gemerlap suatu saat
Tak pernah kenal kata berat
Hati nurani tetap kuat
Demi pilihan yang sudah bulat

Seandainya semua penyair birokrat
Bagaimana pula nasib rakyat
Hidup mereka yang melarat
Gaji terlambat dan disunat
Duit mereka yang tak kuat:
Sedangkan dunia sudah sepakat;
"Duit tak kuat jabatan tak dapat!?"


Biar penyair jadi birokrat
Biar penyair jadi pejabat
Biar penyair jadi konglomerat
jadi orang hebat
jadi orang terhormat
Biar penyair punya bintang empat
punya rumah bertingkat
punya mobil berkilat
punya harta berlipat
punya makanan lezat
Asal masih ingat rakyat
Asal masih ingat akhirat

Biarlah penyair berkasur busa
Biarkan penyair berkuasa

Pontianak, 7 April 1992

Label:

Jumat, 14 September 2007

MALAM JAHANAM

by: Pradono

Terbetik sebuah berita di koran
seorang remaja delapan belasan
di tengah malam menjadi korban keroyokan
lantaran sepasang sandal karatan


Oknum kampung menangkapnya
diseret ke poskamling jadikan santapan
ia menjerit
ia mengaduh
ia mengerang
kesakitan
tapi malam hanya diam
tangan-tangan malah pitam
napsu-napsu makin meradang
dan setan tepuk tangan

Dari tubuh kecil darah menetes
karena pengadilan tanpa proses
tangan-tangan semakin pitam
malam kelam turut merejam
lagi ia mengerang
lagi ia menghiba
tapi kebengisan makin menggila
ia teraniaya
setan-setan berpesta pora

Senyum puas di bibir tersungging
sesosok manusia tergambar anjing
(Malam itu berlaku hukum rimba--
manusia berubah srigala
lantaran mendapat mangsa)
si kecil menangis
si kecil meringis
lantaran malam semakin bengis
menguak kitab-kitab hukum picis

Malam itu adalah malam jahanam
bagi seorang remaja delapan belasan
lantaran sepasang sandal jepit karatan
ia korban kebiadaban
ia korban balas dendam!?

Senyum puas di bibir tersungging
terseringai wajah-wajah bertaring
di bibir darah tak sempat kering
lantaran santapan masih berdaging

Dari tubuh kecil menetes darah
menarik ingin menambah gairah
dan wajah-wajah bertaring semakin pongah
sementara nadi semakin lelah
(Manusia tak lagi manusia
karna kepala berubah srigala
karna mata menyala-nyala
saksikan di hadapan tergolek mangsa)

Si kecil hanya menangis
Si kecil hanya meringis
pembela diharap terlena terlelap
lantaran malam semakin gelap
dan napsu-napsu semakin kalap

Malam itu adalah malam jahanam
bagi si kecil delapan belasan
ia korban kebiadaban
ia korban kekuasaan!

Pontianak, 25 Maret 1992


Label:

Kamis, 13 September 2007

aku juga bisa

by: Pradono

Pelan-pelan sekarang
aku coba berikan
space waktu dalam hidupku.

Selama ini aku merasa
selalu tak punya waktu
hingga datang kekasihku
mengingatkan
bahwa hidup harus dinikmati
bukan hanya untuk diri sendiri
tapi untuk mereka-mereka
yang kucintai

pontianak, 13/09/2007-22.20 wib

Label:

SAJAK TANPA JUDUL

kepada guru

by: Pradono

I
Dengan sebatang kapur
kau ejakan kata-kata
kau bukakan jendela
menjenguk dunia

Dengan sebatang kapur
kau beri kami baju
kau beri kami sepatu
kau ajarkan kami berjalan
kau kenalkan kami bulan

Dengan sebatang kapur
satu jadi seribu

Dengan sebatang kapur
kau berikan apa yang dapat kau berikan
tak kau harap balas jasa
tak kau impi sejuta imbalan;
Berdiri hingga matahari meninggi
Bicara hingga habis suara
kadang berlari dari pintu ke pintu

Dengan sebatang kapur
kau cipta bocah jadi remaja
kau cipta remaja jadi dewasa
kau cipta manusia jadi manusia


Dengan sebatang kapur
kau buka gerbang desa
menuju pintu kota serba ada serbaneka;
sementara tangan tetap bekerja
sementara kaki terus melangkah
sementara jiwa tetap membara

II
Dengan sebatang kapur
yang kini anti-Tebece
tubuh tetap kurus
langkah makin berat
sementara beras datang terlambat
gaji kecil masih sempat disunat;
penjaga gawang bermental bejat
anak didik berjiwa khianat
sementara roda zaman berputar hebat

Dengan sebatang kapur
kau tetap mengabdi
sementara mereka terus mencuri
alergi gajimu tinggi-
merekalah yang berhak punya mobil
punya rumah mewah
berkantong tebal penuh rupiah

Suaramu hanya nyanyian tanpa nada
menebal tumpukan kerja di balik meja
jadi makanan lezat rayap-rayap
sebab jalanmu tanpa pelicin;
tersendat-sendat
dan tak bisa diharap

Dengan sebatang kapur
kau nanti kabar baik
dari Pak Menteri-
bukan kroco-kroco
pemerkaya diri sendiri
yang berkata menabur duri
menyebar mimpi menjual janji

Tubuh kurus makin kurus
batuk Tebece jadi nyanyian
sebab lagu keramat hanya slogan
Dan aku bertanya:
"Apa arti pengabdian, jika hidup tanpa jaminan?"

ptk, Mei '89

Label:

Rabu, 12 September 2007

HITAM PUTIH

by: Pradono

Hitam adalah kemenangan
untuk jelajahi malam di siang benderang
Segala angan menerawang
dari atas ranjang.
Hitam lupakan putih
yang sebentar lagi merapat
dan bersandar.

Di siang benderang hitam
mulai bergulir di ujung jalan
namun malam terus berderit.

Putih
satu satu memancar
kelopak mata dan bibir bergetar
kemenangan perlahan lahan
menyingkir menghindar
tinggalkan segala angan
tinggalkan segala kenikmatan
ketika malam tak pernah siang.

Hitam tak lagi terulang
lantaran tak lagi benderang
lantaran bukan lagi teman.
kenikmatan hanya membayang
dalam kesendirian
disaput kaca kaca bening
di muara dan lembah kerentaan.

tak ada lagi lenguhan panjang
tak ada lagi desah desah
di ranjang
: hanya rangkaian kata
ribuan tanya:
"Ke mana pulang?"


ptk, 27 des'90

Label:

HUTAN

by: Pradono

kau perawan yang kesepian
dulu bulumu begitu lebat
ketika kita bergulat
dalam napas yang bulat
tanpa cacat
kau berdesah akupun bergairah
semangat hidupku bertambah
kau perawan yang kesepian
kini tak lagi perawan
diperkosa dan dijarah
mesin-mesin perkasa
tak berdaya dirambah
mata-mata besi tak bermata
tubuhmu tergolek telanjang
dielus gerigi yang meradang
kau menjerit
tubuhmu belah
sementara majikanmu tertawa renyah
hari ini dapatkan lagi rupiah
pontianak, april 1990

Label:

RANTING

by: Pradono

kenapa kau kering?

ptk, 1990

Label:

KONGLOMERAT

by: Pradono

roket
roket
roket
tekor
ptk, 7/6/90

Label:

TANGGA

by: Pradono

di atas seribu
di bawah jadi debu

Pontianak, 7 Juni 1990

Label:

MERDEKA

by: PRADONO

Merdeka adalah burung burung terbang tinggi
Merdeka adalah kicau satwa di hutan rindang
Merdeka adalah gemericik air mengalir
Merdeka adalah bocah manis pipis di ranjang
Merdeka adalah ..................................
terangkat bongkah dari dada Bilal bin Rabbah

Merdeka adalah bebas lepas dan bahagia
Merdeka adalah milik sekalian makhluk
Merdeka adalah milik semua negeri
Merdeka adalah milik segala bangsa
Merdeka adalah hak asasi manusia
Merdeka untuk berkata dan bicara
Merdeka untuk berbuat dan bertanggung jawab

Berabad-abad negeri ini menanggung beban yang berat
menabur benih demi perut si tuan gendut
memetik pala demi kehangatan penyembah berhala
negeri ini mendaki dengan susah payah
demi selembar merah putih

Semua bicara tentang merdeka
semua menuntut kemerdekaan
negeri ini menuntut kemerdekaan
kemerdekaan yang terang benderang
kemerdekaan yang terjepit di batu karang penjajahan
kemerdekaan yang tertindas cadas keserakahan
kemerdekaan yang berderak di ketiak para perompak

Negeri ini menuntut kemerdekaan
kemerdekaan yang disekap para penjilat
kemerdekaan yang didekap para kolonial berambut gelap
kaum kerabat berjiwa khianat sanak saudara bermuka dua

Merdeka adalah kebebasan negeri ini
dari belenggu penjajah serakah
merdeka adalah kepuasan tiada tara
sorak sorai para jelata pekik bahagia para nestapa
merdeka adalah gegap gempita persada nusantara
merdeka adalah tembok kokoh bergeming
merdeka adalah kehidupan

Kita adalah anak anak merdeka
yang terlahir tanpa dosa
yang bergulir tanpa paksa
yang berpikir tanpa merasa

Semua bicara tentang merdeka
semua ingin hidup merdeka
bebas bercerita kepada sesama
bebas melangkah ke segala arah

Merdeka adalah desah napas tanpa lelah
merdeka adalah kebebasan keluar masuk markas
para pemeras dan penguras
merdeka adalah kebebasan menumpuk dasi
sementara para jelata kehilangan nasi

Merdeka adalah denting piring di gubuk miring
merdeka adalah tumpukan daging di tanah genting
merdeka adalah paduan suara melengking nyaring
Kemerdekaan adalah keletihan yang berkepanjangan
kemerdekaan tak lebih dari menunggu waktu kematian
kemerdekaan adalah kerelaan diam seribu bahasa
demi senyum para penguasa

Kita adalah anak anak merdeka
anak anak pelaku zaman
anak anak yang terancam kematian
anak anak yang menjadi maling budiman
anak anak yang menguras tuntas rumah mewah penjajah serakah

Merdeka adalah kepuasan tiada tara
merdeka adalah tonggak kebenaran tanpa bayang bayang penjara
merdeka adalah tanggung jawab yang tersangga di pundak manusia

Merdeka bukanlah kuda liar tanpa dokar
merdeka bukanlah perahu tanpa teraju
merdeka bukanlah kerja tanpa lelah
merdeka adalah titipan kehidupan dari Allah
merdeka adalah rahmat dari Allah
Merdeka dari segala merdeka

Negeri ini telah merdeka
terbebas dari napsu angkara murka
terlepas dari sanak saudara bermuka dua

Kita telah merdeka
kita bebas bersuara lepas tawa dalam cengkrama
tawa renyah bocah bocah dekap sayang ibu dan ayah
merdeka adalah cinta kasih umat manusia
merdeka adalah bahagia tanpa kata kata
bahagia berkat rahmat sang maha pencipta

Merdeka menghantar negeri ini menjadi bangsa yang mandiri
bebas mengatur rumah sendiri
rumah yang telah dirampok para pendatang berhati binatang
rumah yang dulu dihisap para benalu
rumah yang padat para penjilat dan saudara berjiwa khianat

Kita telah merdeka
negeri ini telah merdeka
merdeka negeri ini dengan merdeka atau mati
merdeka negeri ini dengan proklamasi
proklamasi yang menggugah diri untuk bercermin kembali
bahwa negeri ini berdiri di atas persatuan dan kesatuan
proklamasi sebagai pernyataan kemerdekaan yang dituntut
kemerdekaan yang menjadi hak semua negeri segala bangsa
kemerdekaan yang menjadi hak asasi manusia
hak untuk menjadi tuan di negeri sendiri
hak untuk hidup di tanah sendiri

Merdeka dari segala merdeka
adalah Allahu Akbar
ptk, 15885

Label:

Bohong Seniman Tak Perlu Duit

by: Pradono

Bukan mengada-ada bila dinyatakan bahwa sudah saatnya kita menyadari bahwa seniman juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi dewa. Hidup mereka wajar-wajar saja sebagaimana layaknya orang lain.

Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat memahami eksistensi seniman dengan terbiasa dan berani mengatakan dan menerima pernyataan: “Bohong seniman tak perlu duit! Pernyataan ini menanggapi ungkapan yang lentur di lidah dan begitu saja meluncur, “Ah, seniman tak dibayarpun tidak apa-apa, mereka kan hanya mencari kepuasan batin!” Akhirnya, karya seni menjadi tidak berharga dan bernilai karena seniman dianggap sasaran empuk ‘proyek thank you’.

Konkretnya, apa pelukis tidak perlu duit untuk membeli kanvas, kuas, cat, figura, dan sebagainya. Apa koreografer dan penari tidak perlu berbusana saat menari. Apa sastrawan tidak perlu alat tulis dan kertas untuk berkarya. Apa musisi tak perlu alat musik. Apa kelompok teater tak perlu biaya untuk pementasannya. Dan seterusnya. Apa seniman hanya sim salabim. Hup! Jadi! Dan tak usah dibayar dan dihargai karya-karyanya? Apalagi tak perlu digubris soal hak ciptanya? Betapa dahsyatnya!

What? “Apa kata dunia!” kata si Naga Bonar. Lalu diapun berseru, “Wahai dunia, seniman juga perlu duit untuk beli beras, ongkos naik oplet, membeli buku untuk menambah wawasan, perlu tabungan untuk membiayai keluarganya, perlu membayar pajak sebagai ketaatannya kepada negara, perlu menyumbang rumah ibadah sebagai ketakwaannya kepada Tuhannya, dan seterusnya, dan sebagainya.“

Ringkasnya, seniman bukanlah sesosok manusia yang hidup tanpa makan, tanpa keinginan dan mimpi hidup layak sebagaimana manusia yang lain. Jadi, seniman sama dengan manusia yang lain. Seniman adalah sesosok figur di tengah suatu masyarakat, yang karena motivasi eksistensinya pro-perdamaian, pro-peradaban, dan pro-rakyat mampu bersikap kritis sekalipun dalam krisis dan berani mengatakan: Tidak!

Seniman (dalam makna sesungguhnya) berdiri di barisan golongan masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Kelebihan seniman, begitu orang lain menganggapnya, hanya diberikan kesanggupan untuk mampu ‘berbeda’ dalam mengekspresikan jiwa dan eksistensinya.

Konteks ini hanya sekadar meluruskan persepsi segolongan masyarakat bahwa mereka selama ini sesungguhnya telah terjebak dan tersempitkan wawasannya oleh imej yang memandang seniman dari wujud lahiriah (personal)-nya semata. Pandangan ini sesungguhnya salah, keliru dan akhirnya sekian lama menjadi virus yang menyesatkan. Virus ini telah mematikan daya kritis masyarakat sendiri sebagai gambaran pembentukan karakter bangsa alias character building yang gagal sehingga memandang sesuatu secara tidak bijak dan sekadar berapriori dengan kacamata retak yang buram.

Segala wujud lahiriah personal itu sesungguhnya hanyalah ekspresi individual seniman tertentu, tetapi telanjur menjadi tafsir bebas untuk mengidentifikasikan sosok seniman secara generalisasi. Akibatnya, tampakan fisik itupun tak jarang menjadi alamat negatif yang dilekatkan pada seniman. Rambut gondrong merupakan idiom dan simbol yang paling populer, lengkap dengan segala definisinya yang cenderung negatif. Padahal, kalau mau jujur dan meluaskan pandangan, ada barisan panjang seniman yang berpenampilan parlente, necis, rapi, sopan, dan sebagainya bahkan tidak sedikit yang eksis dengan kepala plontos.

Jadi, bukan mengada-ada bila sekarang saatnya semua menyadari bahwa seniman secara personal juga manusia biasa, bukan malaikat apalagi dewa. Hidup mereka wajar-wajar saja sebagaimana layaknya orang lain.

Tak ada salahnya mulai mengubur dalam-dalam virus yang telah mematikan daya kritis kita dan menyingkirkan kacamata retak yang buram. Dengan demikian, akhirnya dapat bergandengan dengan seniman membangun peradaban. (*)

Penulis adalah Ketua Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu (IPSKH) Pontianak dan Sekretaris Dewan Kesenian Kalimantan Barat.

Label:

Kamar 9 B

by: Pradono
Entah siapa yang memulai. Lima kepala telah mengambil posisi. Satu persatu mulai menyatakan diri. Seorang darinya mengangkangi logika-logika. Seorang lainnya melepaskan embel-embel konvensi. Setiap diri beranjak memproklamirkan identitas. Semuanya mengukuhkan diri sebagai kepala berwatak pendobrak di tengah-tengah keramaian normatika.

Semua percaya pada visi masing-masing. Setiap mereka percaya bahwa pendobrakan hari ini akan sanggup menjebol benteng kemapanan kemarin. Mereka yakin bahwa masa depan akan tergenggam di telapak tangan keteguhan. Setiap diri yakin seyakin-yakinnya bahwa dengan menjebol dinding kiri konvensi berarti meruntuhkan dinding kanannya sekaligus. Sejak itu, merdekalah segalanya dari segala kemerdekaan yang terbelenggu kemapanan kulit kacang.

Atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk ini tak mampu lagi membendung tiap maksud dan segala sesuatu yang berseliweran. Segala realita singgah di pelupuk mata. Terhenti sekejap. Saling menatap. Sunyi. Senyap. Pengap. Tiba-tiba segalanya terungkap. Kepala demi kepalapun membentangwujudkan jatidiri.

“Aku tak ingin jadi epigon sebab aku lebih mulia daripada bebek-bebek.”

Sekepul asap dari sebatang kretek melesat dengan penuh keyakinan. Mengalahkan tebalnya empat kali empat meter dinding bujur sangkar yang melingkupi.

Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Sebisu angin malam di luar jendela. Cahaya bulan-setengah tampak malu-malu menempel di bingkai-bingkai kaca empat perseginya.

“Dalam otak matematisku, tersembul digit-digit kepastian. Satu langkah sama dengan sekian kali sekian. Perlawanan mesti dimulai dan harus berjalan dengan konsisten menuju puncaknya.”

Kamar dingin. Sedingin dinding-dindingnya yang dimesrai embun malam yang merayap menyapa dinihari. Lingkar cahaya bulan semakin menepi mengikut hasrat rotasi mengecup bibir cakrawala. Asap makin menyesak paru-paru, legam dilumuti kental nikotin.

“Inspirasiku yang tergantung di awang-awang melambai-lambai mesra. Tak hendak berhenti. Selalu menggebu-gebu ingin disetubuhi. Jari-jemari tinggal memetik satu demi satu.”

Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini terlemparkan ke atas ranjang. Biarlah ia terbuai bersama sekeringnya keringat di sekujur tubuh. Berbaurnya antara kepenatan dan kebuaian mesra itu. Tak pula ternafikan menegangnya persendian dan sekumpulan urat-urat.

Keliaran imaji itu tertangkap juga. Keliaran imajinasi selalu minta dilayani begitu anak kunci orgasmenya memutar mencari wadah pelampiasan. Akumulasi segala yang terlintas dan terlisankan telah terjinakkan.

Lembar-lembar waktu berlalu tak dihasrati hanya berisi kekosongan. Betapa kesedihan diri ketika terbentur pada kekosongan. Kehampaan di tengah-tengah riuh rendah keramaian. Betapa berharganya sekelumit imaji. Sangat tak sebanding dengan perlakuan angkuh yang menyelimuti diri. Ruang gerak imajinasi mesti diberikan keleluasaan.

“Hasil adalah masa depan. Karya adalah bayi manis yang mungil atas setiap eksistensi. Bukan eksistensi yang utopis yang merangkak pada ketinggian yang ujung-ujungnya bermuara takut digumpal kecemasan paling cemas akan kejatuhan. Eksistensi utopis berwajah retorik tak lebih abadi daripada selembar kekenyangan seekor nyamuk rakus, menghisap darah mangsanya, buncit, sayappun lunglai dan jatuh bergedebung pada sekotak lantai tegel putih.”

Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini kian terasa menuju kelegaan. Keringnya keringat di sekujur tubuh kian terasa bermakna. Ketegangan persendian bergulir melancarkan arus relaksasi. Hanya kepulan asap yang enggan meninggalkan ruang.

“Kehilangan kecerdasan memulai kalimat pertama adalah malapetaka besar bagi kelanggengan eksistensi. Setelah itu, jangan bermimpi mendaki gunung. Jangan berkhayal merekamkan kalimat abadi. Jangan mengigau bahwa besok pagi tersembul matahari.”

“Ya, malapetaka itu adalah malapetaka bersama. Malapetaka bagi yang berniat jadi pengabdi dan pelaksana kata-kata. Malapetaka bagi pengabadi sejarah. Malapetaka bagi malapetaka negeri yang mengabaikan kata-kata. Malapetaka bagi malapetaka bagi rakyat dan pemimpinnya yang mengabaikan sejarah.”

“Kita harus mendobrak dinding kebekuan. Negeri ini harus melek dari segala huruf. Segala kata-kata. Segala sejarah. Kita harus lebih gencar mencanangkan aksi pembacaan. Harus memelekkan diri dari segala keterpurukan di depan mata. Harus memelekkan hati bahwa belajar dari kesalahan adalah lebih mulia daripada masuk ke lubang dua kali bagai keledai tanpa kendali.”

Kepulan asap ternyata semakin berkontribusi memicu metabolisme adrenalin lima kepala di kamar empat persegi itu. Seorang demi seorang kian mengurai logika dan retorika. Tergambar upaya melepas diri dari keterkungkungan masing-masing ego-diri.

“Inilah konsekuensi eksistensi. Konsekuensi untuk memberikan kontribusi tanpa pamrih. Pamrih epigonis. Pamrih utopis. Pamrih oportunis. Koreksi atas kesalahan pemahaman dan faham mesti dilancarkan.“

Entah siapa yang memulai mengakhiri perbincangan. Tak ada negosiasi. Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Tetap sebisu angin malam di luar jendela. Setemaram cahaya bulan-setengah yang masih tampak malu-malu dilingkup awan mendung.

Hanya atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk yang kini sedikit merasa lega. Kamar bujur sangkar ini kini baru mulai sempat menghirup keleluasaan dan kelegaan. Bendungan tiap maksud dari lima kepala itu kini perlahan-lahan merembeskan udara segar senapas dengan antiklimaks adrenalin mereka.

Kini yang tinggal hanya Kamar 9B bertemankan keheningan. Kebisuan. Kesunyian. Dialah yang akan menjadi saksi perjalanan para pengabdi dan pelaksana kata-kata yang kini tengah asyik terbuai mimpinya sendiri-sendiri. Esok siang mereka akan menyaksikan mataharinya dan kembali bertarung dengan realitas di negeri setriliun janji dan retorika. Entah siapa yang memulai. Namun, konsekuensi harus dilancarkan. (*)

Label:

Selasa, 11 September 2007

Kisah Tak Berujung

by: Pradono

Merah Putih tercabik-cabik di Bumi Kopyang
Lambangkan perilaku jahiliyah tak terhalang
Atas para syuhada yang rebah bersimbah darah


Terfitnah mendurhaka Jepang si penjajah

Merah Putih tercabik-cabik tercabik-cabik
Luluh lantak tercabik-cabik
Sementara tiap jiwa setiap masa diam tak berkutik
Entahkah kesedihan dan keperihan menitik
Ataukah bisu seribu bahasa sejuta muslihat dan taktik

Inikah balas jasa anak bangsa yang meraup jaya
Atas nama para syuhada tak berdaya
Ya, apatah mereka tak berdaya
Di selaput pandang mata tak bermata
Di gumpal hati mati tak bernyawa
Di lubuk kalbu tak bermalu para pendurhakanya

Mandor, kausingkap kedurhakaan anak bangsamu
Kaulah tragedi setiap generasi sepanjang waktu
Kaulah kisah tak berujung para anak cucu

Apatah para syuhada harus bicara
Atas angkara yang merobek Merah Putihnya


DI SEBUAH KAWASAN. HAMPARAN LUAS PASIR PUTIH. LUBANG-LUBANG MENYERUPAI DANAU TERSEBAR DI BEBERAPA TEMPAT. DI KAWASAN ITU PULA, LEBIH DARI DUA BUAH MESIN-MESIN PENAMBANG EMAS TANPA IZIN SEDANG BEROPERASI. TERLIHAT BEBERAPA ORANG PEKERJANYA SEDANG SIBUK MENGAMATI HASIL GALIAN MESIN TERSEBUT. TANPA SEPENGETAHUAN PARA PEKERJANYA, BEBERAPA TOKOH YANG ENTAH DATANG DAN BERASAL DARI MANA, TAMPAK SEDANG BERDEBAT. ENTAH APAPULA TEMA DAN TOPIKNYA.

+ Apa yang dapat ditinggalkan bagi anak cucu ketika permukaan mayapada hanya hamparan kegersangan?

- Ah. Kau hanya berfilsafat dengan retorika murahan. Apa kau tak punya nalar yang lebih berbobot dan realistis!

+ Apa?

- Ingat, kawan! Kita menginjak bumi kasat mata. Kita berdiri di atas hamparan realita. Aktifkanlah sinyal pancainderamu. Bukalah telinga, dengarkan gemuruh masa depan lewat mesin-mesin pencipta lembar-lembar kekuasaan ini.

+ Apa!

- Apakah tak kaurasakan di seluruh urat nadi mereka mengalir denyut-denyut masa depan? Apakah tak kaudengarkan gemerincing kemilau kemakmuran? Ah, kawan. Engkau terlalu sentimentil. Apalah artinya retorika tanpa masa depan!

+ Apakah aku tidak sedang bermimpi?

- Kawan. Sudah aku katakan kita berdiri di atas hamparan realita!

+ Jadi?

- Kawan. Engkau telah mempertontonkan kebodohanmu sendiri. Bagaimana engkau sanggup berjuang dan memperjuangkan. Bisamu hanya berpatah-patah kata. Membuka cerita tanpa alur dan kesimpulan. Apa? Apa! Jadi? Hanya itu yang kaubisa katakan. Ah. Jenis sepertimu inilah makanan empuk para nafsu berkuasa. Engkau tak lebih seekor lalat comberan yang sekali jentik, .... plek, plek, plek ... mampus! Jadi, aku tak salah. Engkau hanya menjual retorika murahan ...!

Rupanya sang dewa realita telah turun dengan wejangan-wejangan agungnya. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu, gerangan apa yang telah terjadi. Apakah aku telah kehilangan tema. Boleh aku nimbrung dalam majelis agung ini ....

+ Dengan penuh ketulusan. Siapapun berhak berada di sini. Inilah ruang tanpa kelas dan status. Ruang bagi setiap jiwa yang hidup. Ruang tanpa prasangka.

Terima kasih, kawan-kawan. Tampaknya realita telah pula menjelma menjadi dewa yang begitu mudahnya masuk ke segenap ruang jiwa. Jiwa yang hampa seperti kawan kita yang satu ini.

+ Realita menurut kawan kita ini adalah realita itu sendiri. Tak perlu diperdebatkan lagi keberadaannya, tapi cukup disaksikan saja sehingga tak lagi nyata di selaput pandang mata tak bermata. Tak lagi bermakna di gumpal hati mati tak bernyawa. Tak lagi bercahaya di lubuk kalbu tak bermalu. Apakah lagi ketika meluncur dari suara bijak sang dewa realita kita ini.

- Apa!?

Ah, ke mana arah pembicaraan ini. Kudengar tadi katanya kita ini berada di ruang tanpa prasangka, tapi rupanya kalian semakin jelas dan tegas berpijak pada dua kutub yang berbeda. Rupanya aku telah ketinggalan orientasi. Baiklah, ada yang ingin menjelaskan....?

- Awalnya, adalah soal manusia dan alam lingkungannya. Pencipta mereka telah memberikan anugerah hidup dan kehidupan bagi keduanya. Kedua pihak ini masing-masing diberikan amanah, hak dan kewajiban. Tentu dengan konsekuensi masing-masing pula.

+ Jelas maksudnya. Siapa berbuat dialah yang memetik hasilnya. Itulah yang disebut realita oleh kawan kita ini. Jadi, menurutku tinggal bagaimana manusia itu sendiri bisa memisahkan mana yang benar dan tak benar. Mana yang haknya dan mana yang hak pihak lain. Bumi dan segala isinya telah disediakan oleh Sang Maha Pencipta sebagai sumber rezeki. Tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya.

- Ya. Realita adalah realita yang sudah semestinya bermakna hasil yang dipetik. Pihak manusialah yang paling bertanggung jawab atas segalanya karena merekalah yang dibalut oleh keinginan dan nafsu. Sedangkan alam sekalipun juga bernama makhluk, agaknya lebih berada pada posisi pasif dan pasrah. Mereka ibarat barang-barang stok dan pelayan sekaligus. Itulah realita. Lagi-lagi ... re-a-li-ta. Lalu, apa yang mesti kita perdebatkan lagi. Semua telah berjalan sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Penciptanya.

+ Sekeliling kita berdiri ini hanya hamparan pasir putih. Lubang kawah di mana-mana. Deru suara mesin-mesin itu kedengarannya semakin bernafsu menyedot kemilau isi bumi: masa depan dan kemakmuran menurutmu, bukan? Pohon-pohon yang berdiri itu kelihatannya takkan bisa lebih lama lagi mempertahankan dirinya dan segera rebah. Akhirnya, takkan lebih lama pula para manusia dan nafsunya akan memetik hasil perbuatan mereka.

Bumi mana yang kita pijak ini?

- Mereka menyebutnya Mandor.

Mandor ... Mandor ... Mandor. Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu. Man-dor! Ya. Mandor! Apakah yang kaumaksudkan Mandor itu adalah ladang pembantaian satu generasi Negeri Khatulistiwa bernama Kalimantan Barat yang dilakukan oleh fasis Dai Nippon itu?

+ Tepat sekali! Tapi rakyat negeri ini lebih mudah menyebut fasis itu dengan penjajah Jepang. Menurut sejarah negeri ini, penjajah inilah yang telah membantai satu generasi dari berbagai kalangan, status dan profesi sebagai tokoh-tokoh unggulan rakyat negeri ini, yang mereka anggap telah mendurhaka kepada Dai Nippon.

Apakah ini alasan realistis para fasis itu?

- Maksudmu?

Ya. Apakah tidak lebih realistis bahwa fasis itu sesungguhnya mengincar kandungan isi bumi negeri ini, yang Anda sendiri menyebutnya sumber kemakmuran dan masa depan itu? Mereka adalah penjajah! Bukankah mereka ketika itu sedang berperang? Mereka adalah musuh bagi musuh yang lain! Bukankah mereka perlu modal dan sekaligus masa depan untuk dibawa pulang ke negeri asal mereka setelah perang berakhir? Boleh jadi mereka telah mendengar bahwa isi perut bumi Mandor ini berkemilau emas. Ah, Anda seperti tak paham saja tabiat para penjajah.

+ Ya. Kukira ada benarnya juga. Mereka mungkin terlalu percaya diri bahwa merekalah sang pemenang. Ternyata sejarah berbicara sebaliknya. Pembantaian rakyat negeri ini adalah realita yang lain lagi. Mereka anggap inilah alasan realistis atas realita yang lain. Sebut saja suatu ketakutan dari terbongkarnya sebuah skenario besar atas niat sesungguhnya Dai Nippon menguras isi perut Mandor sehingga dengan berbagai tipu muslihat mengajak para petinggi negeri ini dengan alasan bermusyawarah untuk memikirkan nasib dan masa depan negeri ini karena akan dijajah oleh bangsa lain.

Padahal sesungguhnya pihak Dai Nippon itu telah kalah karena negeri asal mereka telah dibumihanguskan oleh tentara Sekutu, musuh yang lain bagi mereka. Jadi, mereka membantai para tokoh unggulan dan puluhan ribu nyawa yang lain itu agar tidak memberontak karena mereka telah kehilangan kekuatan. Begitu maksud Anda?

+ Ya! Begitu kira-kira.

- Lalu, kesan apa yang kalian tangkap?!

+ Rupanya ada juga retorika murahan andalanmu.

- Apa peduliku! Kau sendiri mengatakan bahwa ini adalah ruang bagi setiap jiwa yang hidup. Tidakkah kausaksikan bahwa generasi berikut negeri ini lebih bernafsu menggali isi perut buminya dibandingkan menggali kebenaran sejarah yang menimpa para patriot pendahulunya. Apakah ini bukan kelanjutan propaganda skenario Dai Nippon itu? Apakah ini bukan perlambang bahwa perilaku jahiliyah tetap akan abadi dan tak terhalang? Padahal para syuhada mereka rela rebah bersimbah darah demi mempertahankan setiap jengkal milik mereka. Nama apa yang pantas kausandangkan atas perilaku generasi penerus mereka ini?

+ Baik. Lalu apa semestinya yang dilakukan generasi penerus para syuhada negeri ini?

- Seperti katamu, retorikaku murahan. Aku tak ingin menggurui mereka apa yang semestinya mereka perbuat. Mereka adalah generasi para cerdik cendekia negeri ini. Mereka seharusnya sudah mengerti apa yang seharusnya. Bukankah mereka telah diajarkan lewat sebuah adagium bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya”? Bukankah itu sudah cukup menjadi pedoman bagi mereka?

Begini saja, kawan-kawan. Rakyat negeri ini adalah generasi para pejuang. Biarkan mereka terus memperjuangkan kehormatan negerinya. Para pendahulu mereka telah rela mengorbankan jiwa raga demi Ibu Pertiwi-nya. Tentu saja, di antara mereka ada yang hidup hanya demi memenuhi keinginan nafsu mereka. Untuk itu mereka disebut para pengkhianat bangsa sendiri. Menurutku, di atas bumi yang kita injak ini tengah berproses apa yang kusebut neokolonialisme. Mungkin kalian lebih suka menyebutnya neoimperialisme. Atau apalah namanya itu.

+ Ironis, memang. Bangsa yang katanya telah merdeka ini ternyata dijajah dan dikuras kembali oleh saudara sebangsanya. Mungkin sebutan yang tepat bagi mereka ini adalah kolonial berambut gelap. (Mandor, 9 Mei 2004)

Label:

Senin, 10 September 2007

Wajah Depan Telaga

by Pradono

Marwan diam. Benaknya bermain-main di permukaan telaga. Telaga yang juga diam itu memiliki banyak kesamaan dengan keadaan Marwan. Permukaannya tenang. Hanya sesekali airnya beriak halus. Perlahan disapu lembut selintas angin sementara mulut bulatnya tampak teduh dilingkupi helai-helai daun pisang yang menjuntai membayangi di atasnya.Kebun pisang pun diam. Pelepah-pelepah lebar daunnya menyebabkan sedikitnya sinar matahari siang yang dapat menerobos. Suasana rindang di kawasan itu terasa sekali. Semilir angin yang mengepakkan helai dedaun menumbuhkan nuansa keteduhan. Telaga yang tenang semakin tampak sendu oleh keteduhannya. Tapi keteduhan itu amat berbeda dengan tarikan napas Marwan.Marwan masih diam. Entah sudah berapa lama ia di sana. Ia bersandar di sebuah pohon pisang. Dagunya tersangga pada kedua lutut yang ditekukkannya. Kedua tangannya begitu erat memeluk kedua betisnya. Sedari tadi, bola-bola matanya hanya menatap permukaan telaga yang berjarak satu meter dari kedudukannya. Tatapan itu tiada bernada. Lurus. Kosong. Hampa. Tanpa penafsiran.Benak Marwan terusik ketika satu gemericik halus telah menyebabkan air permukaan telaga beriak lembut. Pola gerakan yang membentuk lingkaran obat nyamuk itu tak sempat terhitung oleh matanya. Entah sudah berapa kali riak-riak air telaga melingkar. Entah benda apapula yang menjatuhinya. Gerak riak air telaga menggugah Marwan bereaksi. Kepalanya terangkat sedikit, lurus ke arah lingkaran yang kian melebar ke bibir telaga. Marwan tak lagi sediam tadi. Satu tarikan napas panjang dihembuskannya dengan panjang berdesah. Ia melepaskan pelukan pada kedua betisnya. Ia rebahkan ke tanah kedua telapak tangannya. Kedua kakinya dilunjurkannya. Telapak kaki bersandal jepit itu bergerak-gerak ke kanan ke kiri, perlahan, berulang-ulang. Seakan-akan melepaskan kepenatan yang merayap di sekujur persendiannya. Kini pandangannya telah beralih. Dalam posisi kepala menengadah, ia tatap pula lambaian ujung-ujung dedaun pisang yang disandarinya.Untuk kali pertama ada perubahan di wajahnya. Kelopak matanya menyipit. Perubahan itu teramat khas. Tak sama dengan ketika ia merespons gemericik permukaan air telaga, yang mengusik benaknya tadi. Tatapan itu mengandung ekspresi menyelidik. Entah kesan apa yang melekat di benaknya.*****Di benak Marwan, lambaian itu bukanlah sekadar daun pisang yang bergerak-gerak. Dedaun itu adalah wujud telapak tangan yang jari-jemarinya melambai-lambai ke arahnya. Lemah. Tak berdaya. Makin lama, lambaian itu semakin jelas dalam pandangan Marwan.Di hadapannya tak ada lagi dedaun pisang. Di sekitarnya tak wujud lagi pohon-pohon pisang. Tiada pula telaga. Tiada lagi keteduhan sinar matahari di kawasan kebun pisang. Ketenangan dan kelengangan di sekitarnya telah berubah warna. Berubah nada. Berubah suasana. Berbeda rupa. Semua itu telah berganti nuansa.“Marwan,“ senada suara lembut menyeru kepadanya.Namun, Marwan masih saja diam. Tatapannya masih saja mengarah kepada lambaian tangan tak berdaya di pelupuk matanya. Lambaian itu makin lama semakin mendekat ke arahnya. Melayang-layang di awang-awang. Tak wujud sosok pemilik lambaian itu. Namun, ekspresi di wajah Marwan penuh makna menanggapinya. Tatapannya seakan-akan tak sedikitpun mau beralih dari lambaian tersebut.“Marwan, bangkitlah!” nada suara seruan itu tak selembut semula. Sedikit meninggi seolah-olah ingin menyadarkan Marwan mengalihkan tatapannya.Marwan tetap diam. Gerak kakinya telah lama terhenti, tapi gelombang-gelombang di dadanya justeru makin bergelora. Mendesak-desak paru-paru. Memompa kuat denyut jantungnya. Namun, terkesan perasaannya ingin tetap bertahan dalam kediamannya itu.“Marwan, kemarilah!“Ternyata seruan itu ada hasilnya. Mata Marwan berkedip. Tak hanya sekali. Sejenak ia tercenung. Pandangan menyipitnya terhenti. Bukaan kelopak matanya melebar. Kedua bolanya bergerak. Melirik perlahan-lahan. Sesekali ke kanan. Sesekali ke kiri. Masih bernada menyelidik.“Beginikah caramu menghadapi persoalan. Beginikah engkau menyelesaikan masalah. Menyendiri dalam kesunyian. Mengadu kepada telaga ini. Apakah menurutmu dengan begini persoalan akan selesai?” suara itu terekam jelas ke gendang telinga Marwan.Marwan tersentak. Dengan jelas ia mendengar suara itu meski berat tersendat-sendat. Dengan mudah pula ia mengingat kalimat demi kalimat. Tiba-tiba ia berdiri. Langkahnya gontai. Perlahan-lahan surut ke belakang. Ia tampaknya berusaha menjauhi suara itu.“Marwan, kenapa kau berlama-lama di sini. Jarum-jarum waktu terus berlalu. Hari demi hari berganti. Terus memacu tanpa mau menunggu. Apakah kesunyian telaga ini menjadi teman berkongsi perasaan denganmu? Pulanglah!“Dalam diamnya ia tampak mencoba menguasai deburan gelombang di dadanya sebelum mengeluarkan kata-kata. Namun, akhirnya ia berhasil mengatasi gejolak dan deburan itu. Ia tarik napas panjangnya. Meski perlahan dan dengan nada berat sepatah demi sepatah kata meluncuri bibirnya selepas ia mendesahkan sesak udara di rongga dadanya.“Ya. Mungkin aku telah mengambil keputusan seperti ini untuk menyelesaikan persoalan. Di tempat yang sunyi. Tak ada orang lain yang tahu. Tiada sesiapa yang perlu tahu tentang apa yang aku rasakan sekarang ini. Telaga ini mungkin mau menampung luahan perasaanku. Sekarang, biarkanlah aku sendiri di sini. Aku tak ingin pulang.““Mungkin engkau benar. Di tempat ini memang tak ada orang lain. Kau tak ingin orang lain tahu dan merasakan apa yang kaurasakan. Tapi, apakah dengan begitu engkau menganggap persoalan yang sebenarnya akan turut pula selesai bersama kesendirianmu ini? Benarkah tak ada yang lain yang tahu?“ suara itu seakan-akan mengingatkan Marwan pada sesuatu hakikat.Marwan kini terpaku. Ia mencoba memahami kata demi kata itu. Ada sesuatu yang seketika itu menggugah batinnya yang mengiring kalimat demi kalimat itu. “Tak ada yang lain ...?“ batinnya berucap mengulang-ulang itu.“Marwan, pulanglah!“Suasana rindang kawasan kebun pisang itu agaknya telah berpindah tempat. Begitu pun semilir angin yang mengepakkan helai dedaunnya. Juga telaga yang tenang kini tak lagi sesendu semula. Keteduhannya kini mewujudkan keteduhan tarikan napas Marwan. (*)

Label: