Mengalir Bagai Air

Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Selasa, 06 November 2007

Temu Budaya atau Temu Lawak

By: Pradono

Kebetolan jak bah! kalok tadak maen-maen ke Taman Budaya, mane tau ada dialog dengan Pak Dirjen.
Tulisan ini merupakan catatan emosional dari "Dialog Temu Budaya bersama Dirjen Kebudayaan Depdiknas dengan Seniman, Budayawan dan Instansi Terkait", di Gedung Pusat Olah Seni Taman Budaya Kalbar di Pontianak, Senin malam (24/7) yang lalu.

Di awal paparannya, Dirjen Kebudayaan, Dr. I Gusti Ngurah Anom, menjelaskan bahwa dialog ini diharapkan mampu mendapatkan solusi terhadap keinginan untuk mengembangkan dan melestarikan seni budaya, khususnya di Kalimantan Barat. Itu subtansinya. Tapi apa lacur, dialog ini dibuat tak jelas oleh seorang Kakanwil, yang punya gawe alias sebagai tuan rumah, lewat pantun pembukaannya, yang di sana terungkap sekelumit kalimat bahwa "apa-apa yang salah jangan diberitahukan kepada yang lain.”

Apa maksudnya? Apa supaya Pak Dirjen tak boleh tahu dengan keadaan seni budaya di Kalbar atau Pontianak sesungguhnya yang "jalan di tempat" ini, yang notabene menjadi tanggung jawab dari Kakanwil Depdiknas (karena sekalipun sudah tak berlabel "kebudayaan" lagi, tapi masih suka menggarap proyek seni budaya)? Dari sinilah saya berpikir bahwa ada yang tidak beres di balik penyelenggaraan dialog ini.

Indikator yang merujuk ke arah itu, yang tidak sesuai dengan bunyi spanduk yang ditempel itu, antara lain tidak satupun sanggar/ kelompok seni/ seniman/ budayawan yang menerima undangan tertulis/ lisan dari Kanwil Depdiknas Kalbar (beberapa ketua sanggar saya tanyai). Sebelumnya tidak ada ekspos di media massa tentang kedatangan Dirjen/ dialog tersebut bahkan tak seorang pun wartawan yang "sengaja hadir" untuk memenuhi undangan, kecuali yang hanya kebetulan saat itu mampir dan sering ke Taman Budaya sambil bertanya "Ada acara apa ini?"

Semua itu saya pertanyakan langsung dalam forum tersabut. Kalimat pantun itu saya anggap sebagai yang "bukan zamannya lagi" untuk menutup-nutupi kesalahan. "Pak Dirjen datang ke sini apa sudah diagendakan ataukah sidak (inspeksi mendadak). Kalau sidak pun lebih bagus, lebih spontanitas.” Dan dialog ini sebenarnya untuk siapa karena yang hadir hanya orang-orang Kanwil.

Hal ini sangat kontras dengan keadaan ketika setiap sebuah pertunjukan digelar di Taman Budaya, orang-orang Kanwil pada ke mana? Termasuklah Pengurus Dewan Kesenian yang namanya bertumpuk di surat keputusannya itu. Praktis, seniman/ budayawan/ pengurus sanggar/ pengurus Dewan Kesenian yang hadir saat itu hanyalah mereka yang punya "hubungan khusus" dengan Kanwil. Berkat kedekatan hubungan pribadi. Kira-kira begitu. Sanggar dan pekerja seni lain yang hadir, hanya kebetulan hari itu sedang latihan atau yang menjadikan Taman Budaya sebagai "tamannya sendiri" sebagai wadah komunikasi, bertukar-pikiran.

Kami sebenarnya tak bermaksud menuntut ada atau tidak adanya undangan. Bukan itu soalnya. Sekalipun hanya informasi lisan apalagi ekspos di koran, rasanya sudah cukup. Intinya, asal tahu ada kegiatan, misalnya di Taman Budaya, Insya Allah kami pasti hadir. Ringkasnya, jangan main sembunyi-sembunyi alias betapok-tapok. Di spanduk tertulis ”...bersama Seniman dan Budayawan...", tapi seniman/ budayawan atau pekerja seninya sendiri tidak tahu. Itu kan sama saja dengan "main catut" alias "main atas nama" yang jadi tren sekarang ini. Nah, dengan cara begitu barangkali maksudnya supaya Pak Dirjen hanya menerima yang bagos-bagos jak! Namun, sudah terlambat. Nasi sudah jadi bubur dan kentang sudah jadi perkedel (istilah penulis). Tinggal makan saja. Enak tak enak.

Akhirnya, dengan "kekuatan" yang ada (walaupun satu dua orang), momen spesial ini mau tidak mau harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan Pak Dirjen agar seniman/ budayawan dan kesenian di Bumi Khatulistiwa ini tidak semakin parah dan terpupuk nasibya oleh tingkah polah para aktor yang seharusnya sebagai pembina, tapi justru menjadi "para pembinasa" itu.

(Penulis adalah Ketua Ikatan Pencipta Sastra Kota Hantu (IPSKH) Pontianak)
PontianakPost, Jumat, 11 Agustus 2000

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda